Muntah Jerapah

Yang namanya PROSES nggak ada yang namanya 100% instan. Untuk bisa instan sekali seduh jadi itu pun diperlukan proses pembuatan di pabrik. Manufakturan, gitu lah istilahnya.

Begitu pula yang namanya orang gak ada yang ujug-ujug sehat lahir dan batin kalau gak ada usahanya. Mempertahankan supaya tetap sehat itu juga ada usahanya. Apalagi dari kondisi yang sudah tidak atau kurang sehat, menjadi kembali sehat.

Proses itu terjadi dalam setiap aspek hidup lah ya. Bertumbuh sendiri juga proses. Ya kali begitu lahir langsung jambros dan giginya 32 bijik. Mulai dari 0 nggak hanya terjadi di tempat beli bensin, kakak.

Tapi, tapi nih, susah ngebahas soal proses sama orang yang sebenernya gak paham tentang konsep proses tersebut. Orang itu bisa aja cuap-cuap dan membagikan aneka artikel di media sosial pribadinya tentang pertumbuhan, perkembangan, keikhlasan, kedewasaan, psikologi sosial, dan aneka teori lain yang mengesankan pemahamannya tentang proses. Dan seperti yang kita tahu, kadang-kadang kesan dan kenyataan itu bisa berbeda 180 derajat.

Lebih payah lagi kalau ingin membahas konsep proses sama orang bertipe berat di kesan ringan di kenyataan, DAN logika berpikirnya di luar kebiasaan normal. Kreatif dan out of the box sih, SEANDAINYA berada dalam koridor produktif.

Kalau produktif cuma di omongan dan nol patah di kerjaan, masuknya kategori Nafsu Besar Tenaga Kurang, atau No Action Talk Only, atau Omongan Doang.

Saya tahu menanggapi dengan emosi orang-orang semacam ini adalah sia-sia. Mau diajak diskusi nggak bakal bisa, wong kurang setetes. Baiknya dijauhi saja. Atau kalau kekuatan mental dan jiwa kita sudah teruji, boleh ditegur diajak bicara. Namanya juga usaha membawa kebaikan. Walaupun kebaikan itu sebetulnya relatif juga, karena kita tidak Maha Tahu dan kadang ada gambaran besar yang luput dari pemahaman kita.
Setdah... Saya udah kayak Mamah Hedeh belum?


Setelah menjabarkan sisi kepala saya yang agak waras, berikut adalah sisi kepala saya yang guncang maksimal. Saya kesal, dan juga ketawa, ketawa sebal, lantaran ada yang menyebarkan pandangan bahwa kebiasaan olahraga saya itu semata-mata adalah gaya. Saya heran juga kenapa saya kesal, toh saya sudah bisa menebak cibiran semacam apa akan keluar dari mulut yang mana. Bukan weruh sedurunge winarah, hanya saja memang mudah menebak kelakuan orang yang polanya gitu-gitu aja.

Kemungkinan ini akumulasi sih. Energi cukup negatif selama hampir tiga pekan. Selain fisik yang drop, sempat lemot seminggu, lalu setelah energi perlahan-lahan kembali isi kepala saya kok seperti mampet.

Empat hari kemarin secara fisik saya sudah bergerak kembali, tapi kepala mampet ini harus diluruskan. Makanya saya muntah jerapah di sini saja.

Kembali ke ketawa sebal tadi, pencibir tadi kerap memberikan kesan bahwa ia hidup sehat. Berolahraga, makan enak, hati gembira, dan seterusnya. Seimbang lahir batin. Kesannya. Realitanya olahraga yang dilakukan adalah, entah apa. Tidak bisa berenang. Tidak mau bersepeda karena takut lalulintas di jalan. Tidak mau melompat atau berjalan apalagi lari karena flu, tekanan darah rendah atau baru kambuh sakit maag. Konon gemar betul menari tetapi susah menari karena nanti sakit pinggang. Kalau yoga, sudah pernah dulu, tapi buat apa, sekarang isinya cuma ajang gaya dan selfie semata.



Nah kan.
Saya sempat bingung kenapa saya kesal sekali. Wong saya sadar saya ini poser. Dan saya tahu mulut yang satu itu percuma didengarkan. Manfaat dari mendengarkannya hanyalah untuk melatih pengendalian diri dan kemampuan welas asih.

Sambil muntah jerapah begini, saya pikir-pikir ulang. Iya sih, yoga itu gaya. Gaya hidup. Latihan di matras akan mencerminkan cara berpikir dan bertindak di luar matras, dan sebaliknya.
Setdah... Saya udah kayak hipster yoga belum?

Namaste.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa