Poser

Kalau dipikir-pikir, sebetulnya saya kenal yoga sudah lama.
Saya mulai beryoga dengan intensitas sesekali pada saat hamil. Meningkat menjadi jarang setelah si bayi sudah lahir dan bisa duduk. Meningkat menjadi cukup berkala dua tahun lalu.

Saya pernah baca, banyak orang melarikan diri dalam yoga. Sepertinya saya salah satu orang yang melarikan diri dengan yoga. Saya tahu saya harus bergerak lebih banyak, tapi saya benci berkeringat. Olahraga kesukaan saya sebetulnya adalah berenang, you don't feel like you're sweating while you're in the water. Tapi berenang membawa balita itu mengakibatkan balita senang, saya tidak bergerak, karena saya harus mengawasi balita. Daripada mengeluh, lebih baik kita mencari cara untuk bergerak kan? Jadi, saya lari ke yoga. (Padahal ternyata yoga juga membuat saya berkeringat hebat)

Saya mengira yoga akan memberikan juga ketenangan.



Saya punya kecenderungan cemas berlebihan. Sangat tidak produktif. Sangat menyebalkan. 

Saya juga punya masalah dengan temperamen. Masalah besar. Apalagi kalau berhadapan dengan balita. Saya dulu sempat berpikir positif, mungkin kalau berhadapan dengan balita yang saya lahirkan sendiri, saya bisa lebih kalem. Ternyata enggak. Sejujurnya, saya suka anak-anak, saya hanya kurang sabar berhadapan dengan balita. Lebih tepatnya bocah usia 4-7 tahun. 

Jadi, saya lari ke yoga. Belajar napas. Belajar sabar. Belajar pasrah. Beberapa pose yoga membantu saya saat melahirkan. Jadi, kenapa enggak kita coba yang lebih serius? Mungkin saya bisa lebih biru atau ungu dan tidak sehijau biasanya. Mungkin saya bisa jadi ibu yang lebih ideal semacam ibu-ibu bidadari bijaksana versi majalah dan buku parenting.

Ketika kesehatan ibu saya mulai menurun 3 tahun lalu, saya meningkatkan frekuensi beryoga. Saya semakin ingin lari. Saya sampai beli matras sendiri.

Saya nggak bisa bilang, yoga membantu saya melewati masa-masa ketika kesehatan ibu saya makin pudar. Kecenderungan saya yang pencemas membuat proses berduka saya dimulai jauh-jauh bulan. Lebih jauh dari yang diketahui kebanyakan orang. Ini yang membuat ada orang mengira saya tidak melalui masa denial dan anger menuju acceptance ketika ibu saya meninggal. Ada yang mengira saya hebat betul langsung bisa senyum dan nampak cuek sehari setelah ibu berpulang. No shit, Sherlock, incredible deduction you made there.

Sejak kembali ke Jogja saya berpikir, saya harus lebih banyak lagi bergerak. Dan saya masih lari dari kenyataan, diri saya sendiri, dan entah apa lagi. Saya makin sering ikut kelas yoga. Saya berlangganan akun-akun yang berafiliasi dengan yoga pada media sosial. Saya berubah menjadi semacam penggila yoga. Hanya semacam saja. Jangan-jangan sebetulnya saya cuma poser. 


Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa