Rumah Nomor 52

Rumah nomer 52 adalah rumah pertama yang benar-benar menarik perhatian saya di jalur pagi saya menuju basecamp. Di halaman rumah itu, setiap pagi, ada 7 ekor ayam kate jantan dan 2 ekor ayam kate betina. Hitungan ini mungkin meleset karena saya menghitung mereka sambil berjalan melintas dan jalan saya cukup cepat. Rasanya akan sangat aneh kalau saya sampai berhenti hanya untuk menghitung jumlah ayam kate yang berkeliaran di halaman rumah itu. Selain karena biasanya selalu ada orang di halaman setiap pagi. Sepertinya pembantu rumah, atau bisa jadi ibu pemilik rumah itu sendiri, sedang menyiram tanaman atau menyapu halaman.

Ayam kate adalah binatang yang lucu. Semakin kate semakin lucu bentuknya. Apalagi ayam jagonya. Mereka sepertinya tidak sadar kalau ukuran mereka itu mini. Gaya jalannya tetap pongah seperti umumnya ayam jago, tapi ukurannya chibi-chibi. Pun ayam kate nampaknya punya kecenderungan untuk membulat. Semakin bulat dan pongah semakin gemas pingin menempeleng ayam jago kate itu. Hahahahaha!!! *eh*


Semasa saya masih kecil, sepertinya kelas 6 SD hingga SMP, di rumah orangtua saya pernah dipelihara ayam kate. Sepertinya sepasang. Saya lupa. Atau malah dua pasang. Mereka dipelihara dalam kandang dari bambu. Saya tidak ingat apakah bapak saya yang membeli atau ayam-ayam itu diberi orang. Saya tidak terlalu memperdulikan mereka. Yang membersihkan kandang selalu Yu Mar. Itu masa keluarga kami masih memiliki asisten rumah tangga. Mungkin karena tidak pernah dilepas dari kandang, saya jadi tidak bisa menghargai bentuk si ayam yang kontet dan tingkah lakunya yang koplak. Keperdulian saya waktu itu hanyalah ketika ayam-ayam tersebut bertelur. Telurnya berpindah ke kulkas. Saya tidak ingat apakah kemudian telur itu digoreng dan dimakan. Saya juga tidak ingat ke mana ayam-ayam itu pergi.

Ayam peliharaan yang saya ingat hanya beberapa ekor yang dipelihara di halaman belakang sewaktu saya masih kelas 1-2 SD, lalu si ayam jago yang dipelihara beberapa tahun lalu. Ayam jago berukuran normal. Ayam ini bertahan cukup lama di rumah orangtua saya di Surabaya. Sekitar dua tahun. Bapak saya yang membelinya. Dia diikat begitu saja di halaman depan. Dan karena ukurannya besar, dia selamat dari tikus ataupun kucing setempat.

Ayam jago ini dilepas dari talinya kalau pagi. Ia sering menemani ibu saya belanja sayur. Sesiangan dia akan berkeliaran atau nongkrong di teras rumah. Lalu sore hari, dia akan diikat kembali. Suatu hari si ayam pergi tak kembali. Mungkin dia pergi terlalu jauh. Bisa juga dia diambil orang. Ibu saya merasa sedih kehilangan pengawal belanja pagi.

Saya sering ingin pelihara ayam. Tapi ayam suka nakal menotoli tanaman. Juga kalau di rumah kami dia pasti akan habis diajak bercengkrama Beka (dulu) atau Abi. Belum lagi perkara aroma pupuk kandang. Pertimbangan ini senantiasa membuat saya menepis keinginan pelihara ayam jauh-jauh. Kapan-kapan saja lah. Kalau sudah waktunya





Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa